Perdebatan mengenai konsep negara sering kali berkisar pada bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dengan prinsip-prinsip yang diadopsi dari pemikiran barat dan muslim. Di Indonesia konsep negara memiliki pengertian yaitu pemahaman tentang bentuk, tujuan, dan prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa ilmuwan barat mencerminkan keragaman pandangan tentang fungsi, tujuan, dan legitimasi kekuasaan negara. Sedangkan, pengertian konsep negara menurut beberapa ilmuwan muslim menyatakan bahwasannya menekankan pada pentingnya integrasi nilai-nilai Islam dalam sistem pemerintahan.
Dalam hal ini dapat dibandingkan pengertian konsep negara menurut George H Smith sebagai ilmuwan barat dengan Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan muslim. George H Smith adalah seorang filsuf libertarian, yang dikenal karena kontribusinya dalam filsafat politik dan teori negara. Dalam karyanya, Smith mengembangkan pandangan yang kritis terhadap konsep negara, terutama dalam konteks kebebasan individu dan peran pemerintah. Selain itu, Ia juga berargumen bahwa negara seringkali hanya digunakan untuk mempertahankan kekuasaan elit, dan bukan untuk melayani kepentingan publik. Ia mengkritik ide bahwa negara adalah entitas yang netral dan berfungsi untuk kebaikan bersama. Namun, ia melihat negara sebagai struktur yang cenderung menghambat kebebasan individu.
Selain itu Smith juga menolak pandangan internasional tentang negara sebagai institusi yang di perlukan untuk menjaga ketertiban dan keadilan. Ia berpendapat bahwa banyaknya fungsi yang diemban oleh negara justru dapat dilakukan oleh individu atau komunitas tanpa intervensi pemerintah. Dalam pandangannya, keberadaan negara sering kali menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Dalam konteks teori kontrak sosial, Smith menunjukan bahwa legitimasi pemerintah seharusnya berasal dari persetujuan rakyat, bukan dari kekuasan yang diwariskan atau ditetapkan secara sepihak. Ia menekankan pentingnya kesepakatan sukarela antara individu dalam masyarakat untuk membentuk suatu sistem pemerintahan.
Salah satu tema sentral dalam pemikiran Smith adalah pentingnya kebebasan individu, Ia tegas bahwa kebebasan pribadi adalah hak yang tidak boleh dilanggar oleh negara. Dalam pandangannya, setiap individu memiliki hak untuk mengejar kebahagiaan mereka sendiri selama tidak merugikan orang lain. Smith juga menyoroti hubungan antara ekonomi dan negara, ia berpendapat bahwa campur tangan pemerintah dalam ekonomi sering kali mengarah pada hasil yang tidak efisien dan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, ia mendukung pasar bebas sebagai alternatif yang lebih baik untuk pengaturan ekonomi oleh negara. Meskipun skeptis terhadap kemampuan pemerintah untuk menciptakan moralitas publik, Smith percaya bahwa pendidikan dan budaya dapat memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat yang sehat secara moral tanpa perlu intervensi negara. Ia menekankan perlunya masyarakat sipil yang kuat untuk mendukung nilai -nilai moral dan etika.
Berbeda dengan Smit, Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan muslim dari abad ke-14 yang jua dikenal sebagai pelopor dalam berbagai bidang, mengungkapkan teori negara dalam karyanya yang terkenal dengan sebutan “muqaddimah“. Ia mengungkapkan bahwa konsep negara berdasarkan analisis mendalam berhubungan dengan dinamika sosial, ekonomi, dan politik. Ibnu khaldun memperkenalkan dua konsep yakni konsep pertama Umran yaitu merujuk pada kehidupan sosial dan peradaban. Ia menggambarkan hubungan antara masyarakat dan negara, serta bagaimana keduanya saling memengaruhi. Umran mencakup aspek-aspek seperti urbanisasi, budaya, dan perkembangan ekonomi yang terjadi ketika masyarakat menetap. Kedua Asabiyyah, merupakan solidaritass atau ikatan sosial yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Menurut Ibnu Khaldun, asabiyyah adalah fondasi bagi pembentukan negara. Semakin kuat asabiyyah dalam suatu kelompok, semakin besar kemungkinan kelompok tersebut untuk membangun dan mempertahankan kekuasaan politik.
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menekankan bahwa konsep umran dan asabiyyah memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana masyarakat berkembang dan berfungsi. Dengan menekankan pentingnya solidaritas sosial dalam pembentukan negara serta siklus kehidupan peradaban, ia menawarkan analisis yang relevan mengenai dinamika kekuasaan dan perubahan sosial yang masih diterapkan dalam konteks modern. Ibnu Khaldun juga mengemukakan bahwa negara memiliki siklus kehidupan yang mirip dengan makhluk hidup. Yaitu lahir, tumbuh, dewasa, dan akhirnya mati. Ia membagi menjadi beberapa fase yaitu: Fase pendiri (foundation), Fase Dominasi (Domination), Fase Kemakmuran (prosperity), Fase Tradisinonal (Peace), Fase Keborosan ( Extravagance). Ibnu Khaldun Melihat hubungan antara negara dan masyarakat sebagai saling bergantung. Negara tidak dapat berfungsi tanpa dukungan masyarakatnya, sementara masyarakat membutuhkan struktur pemerintahan untuk menjaga ketertiban dan keadilan.
Selain itu Ibnu Khaldun juga mengkritik cara-cara dimana kekuasaan sering disalahgunakan oleh penguasa yang tidak lagi memiliki asabiyyah yang kuat. Ia percaya bahwa ketika penguasa kehilangan koneksi dengan rakyatnya, legitimasi mereka akan hilang. Yang dapat menyebabkan keruntuhan negara. Dengan menekankan pentingnya asabiyyah sebagai kekuatan pengikat dalam masyarakat serta analisi siklus kehidupan negara, Ibnu Khaldun memberikan kontribusi signifikan terhadap pemikiran poltik Islam. Secara keseluruhan, perbedaan utama antara kedua pemikir ini terletak pada pandangan mereka terhadap legitimasi kekuasaan dan peran negara dalam melihat kehidupan masyarakat.
Terkait dengan konsep negara terdapat perbedaan cara pandang antara Ibnu Khaldun dengan Smith. Ibnu Khaldun menekankan pentingnya solidaritas dan keadilan dalam pemerintahan, sementara Smith menekankan bahaya kekuasaan negara yang dapat merugikan kebebasan individu. Perdebatan ini menjadi relevan dalam konteks Indonesia yang multikultular dan memiliki beragam pandangan tentang legitimasi kekuasaan. Di satu sisi ada yang mendukung pendekatan Ibnu Khaldun yang menekankan solidaritas sosial dan keadilan. Sedangkan di sisi lain, ada yang lebih condong pada pandangan liberal yang menekankan hak individu dan kebebasan.
Adanya perbedaan pandangan mencerminkan tantangan dalam membangun negara yang mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang beragam. Dialog antara pemikiran Barat dan Muslim dapat memberikan wawasan baru dalam merumuskan konsep negara yang sesuai dengan konteks Indonesia saat ini.
*Ed: Dian D.M (Ilmu Hukum, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia)