JAMINAN HARI TUA
(ANTARA REALITA DAN HARAPAN)
Pendahuluan
Pada awal tahun 2022 tepatnya tanggal 2 Februari 2022, pemerintah mengeluarkan aturan terbaru terkait Jaminan Hari Tua (JHT) yang tertuang dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Sebagai pengganti Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, aturan baru ini menetapkan manfaat jaminan hari tua dibayarkan saat usia peserta BPJS Ketenagakerjaan mencapai 56 tahun, baik bagi peserta mencapai usia pensiun, mengundurkan diri, maupun terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Respon bermunculan dari berbagai elemen masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa substansi regulasi cukup baik, namun Pemerintah kurang peka karena dikeluarkan di tengah pandemi Covid-19. Sementara respon penolakan bermuculan dari berbagai asosiasi buruh. Alasan utama adalah karena peraturan ini merugikan dan mempersulit kaum buruh dalam mencairkan uang yang notabene merupakan hak-nya.
Dari berbagai elemen yang menolak regulasi, mereka bersiap untuk mengikuti jejak langkah yang akan ditempuh seperti saat menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law beberapa waktu lalu. Namun seiring gencarnya penolakan, Presiden Jokowi segera memanggil Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah untuk menyederhanakan tata cara dan persyaratan pembayaran JHT agar dapat dicairkan bagi pekerja yang mengalami masa sulit saat ini. Di sisi lain Presiden juga mengajak para pekerja untuk mendukung situasi yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing dalam mengundang investasi sebagai upaya membuka lebih banyak lapangan kerja yang berkualitas,
Filosofi JHT
JHT merupakan program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa JHT ditujukan untuk memberikan jaminan di hari tua, jaminan di saat tidak lagi berpenghasilan. Dan di Indonesia, secara umum pekerja memasuki usia pensiun pada usia 56 tahun, karena seringkali pekerja tidak memiliki tabungan yang cukup untuk hidup di hari tua. Besarnya dana yang cair tergantung dari masa kerja pekerja yang bersangkutan. Walaupun rata-rata yang diterima tidak terlalu besar, paling tidak bisa dipakai untuk memulai usaha atau untuk menanggung hidup sehari-hari.
Pada dasarnya, JHT merupakan program perlindungan pekerja jangka panjang, sedangkan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) merupakan perlindungan pekerja untuk jangka pendek. Oleh karena itu, program JHT dirancang untuk memberikan kepastian tersedianya dana bagi pekerja saat yang bersangkutan tidak produktif lagi akibat pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia. Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022, manfaat yang dapat dirasakan pekerja adalah dengan akumulasi dan pengembangan iuran, maka dana yang didapat pada saat mencapai usia 56 tahun akan besar. Namun demikian terdapat manfaat lainnya yaitu dana JHT dapat dicairkan sebelum memasuki masa pensiun dengan persyaratan tertentu.
Polemik JHT
Meskipun masyarakat, terutama pekerja sudah mengetahui filosofi atau esensi dari JHT, muncul pertanyaan, mengapa masih ada polemik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, antara lain:
1. Pekerja menyadari bahwa uang yang dikumpulkan selama bertahun-tahun adalah hasil jerih payah mereka bekerja. Oleh karena itu ketika memerlukan uang dikarenakan sebab tertentu seperti terkena PHK, mengundurkan diri dan lain sebagainya, maka mereka berhak atas uang tersebut tanpa harus dibatasi waktu, terlebih sampai harus menunggu usia 56 tahun.
2. Pekerja kurang bisa memahami bahwa filosofi JHT adalah bentuk perlindungan jangka panjang. Pekerja lebih bersifat pragmatis, dibanding harus menginvestaikan uangnya dalam jangka panjang.
3. Pekerja melihat jangka waktu (tunggu) untuk dapat mencairkan pada saat usia 56 tahun terlalu lama. Sebagai misal seorang pekerja terkena PHK pada usia 30 tahun. Artinya diperlukan waktu 26 tahun untuk dapat mencairkan. Satu periode waktu yang sangat lama;
4. Masih rendah tingkat kepercayaan (trust) pekerja terhadap BUMN dalam mengelola dana JHT, walaupun nantinya uang yang akan dikembalikan merupakan akumulasi iuran wajib dan pengembangannya. Saat ini aset tabungan hari tua semua pekerja dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Ada kekawatiran terjadi penyalahgunaan wewenang pada proses investasi, sehingga uang mereka sulit atau bahkan tidak dapat diambil. Kenyataan menunjukkan saat ini terdapat penyalahgunaan kebijakan investasi di dua BUMN yakni PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT ASABRI (Persero);
5. Timing yang kurang tepat dalam mengeluarkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Pemerintah kurang “peka” bahwa dengan mengeluarkan regulasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak (pekerja) dalam kondisi perekonomian sulit dan pandemi Covid-19, sangat rentan terhadap penolakan.
6. Dengan adanya revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, setelah adanya respon penolakan dari berbagai pihak, terlihat apa yang menjadi tujuan awal program JHT tidak tercapai. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam proses pembentukannya yang dilakukan melalui penyerapan aspirasi dari stakeholders, koordinasi dan konsolidasi dengan K/L serta proses harmonisasi kurang berjalan sebagaimana mestinya.
Upaya Pemerintah
Memahami keberatan dari para pekerja terhadap Permenaker Nomor 22 Tahun 2022, Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk menyederhanakan tata cara dan persyaratan pembayaran JHT agar dapat dicairkan bagi pekerja yang mengalami masa sulit saat ini. Dalam pertemuan dengan beberapa asosiasi buruh, Menaker menjelaskan bahwa revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 merupakan penyempurnaan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Selain kemudahan administratif, aturan pencairan manfaat JHT dalam revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 juga akan dikembalikan sebagaimana ketentuan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Ditargetkan revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dapat selesai sebelum Mei 2022 . Selama proses revisi berjalan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 masih tetap berlaku.
Dengan adanya revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 berupa penyempurnaan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, dimana salah satu klausulnya menyebutkan pencairan manfaat JHT tidak perlu menunggu saat usia peserta BPJS Ketenagakerjaan mencapai 56 tahun, maka dapat dikatakan filosofi program JHT yang dinginkan pemerintah tidak berhasil. Jika menilik keberatan pekerja karena masa tunggu yang terlalu lama, sebetulnya pemerintah dapat membuat kebijakan agar masa tunggu tidak terlalu lama, misalnya 2 sejak pekerja terkena PHK, mengundurkan diri atau cacat tetap, dana baru dapat dicairkan. Dengan demikian terdapat unsur “edukasi” kepada pekerja untuk menerapkan program JHT secara perlahan. Dan apabila pencairan dana setelah pekerja menunggu selama 2 tahun berjalan lancar, maka secara langsung akan meningkatkan rasa kepercayaan (trust) pekerja kepada pemerintah. Ketika Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dikembalikan sebagaimana ketentuan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, dengan berbagai kemudahan yang akan diberikan kepada pekerja, pada hakekatnya filosofi JHT sebagai bentuk perlindungan jangka panjang bagi pekerja tidak tercapai.
Kesimpulan
1. Upaya pemerintah memberikan perlindungan pekerja jangka panjang melalui program JHT yaitu dengan mengeluarkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 mendapat banyak respon penolakan. Penyebab utama adalah terlalu lama masa tunggu untuk dapat mencairkan dana. Disamping itu Permenaker dikeluarkan pada waktu yang kurang “tepat”, karena banyak pekerja dalam kondisi sulit sebagai dampak pandemi Covid-19.
2. Memahami keberatan pekerja terhadap Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, pemerintah melakukan revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 melalui penyempurnakan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Dalam revisi nantinya terdapat berbagai penyederhanaan dan kemudahan seperti persyaratan klaim JHT akan dikurangi; persyaratan yang dulunya tiga menjadi dua yaitu bukti cukup dengan KTP, kalau tidak ada KTP dapat digunakan bukti yang lain.
3. Dengan adanya revisi, dimana untuk mencairkan dana tidak perlu menunggu sampai umur 56 tahun, maka harapan pemerintah untuk mengembalikan filosofi JHT kepada yang seharusnya tidak terwujud. Disisi lain realita menunjukkan bahwa pekerja belum siap untuk menerima konsep JHT hanya karena masa waktu tunggu yang terlalu lama. Sayangnya pemerintah kurang memberi ruang “edukasi” kepada pekerja, bahkan terkesan memanja pekerja dengan memberikan berbagai penyederhanaan dan kemudahan dalam klaim JHT.
M. Cahyohadi.S
Pengantar Kerja Ahli Madya
Ditjen Binapenta dan PKK
Kementerian Ketenagakerjaan RI